"SANG DERMAWAN BERHATI KAPAS" 2018-08-13 | by . Sebuah Catatan Hati: jangan berhenti sebelum selesai membaca agar bisa menemui arti dalam sebuah cerita. H. TAMMASSE BALLA (HTB) Akademisi Universitas Hasaanuddin Ketika memutar mundur jarum jam peristiwa 26 tahun silam, tepatnya tahun 1992, ada jejak tapak tak pernah terlupakan. Umurku waktu itu tengah "mekar-mekarnya" 26 tahun, masih "single" waktu itu. Dengan profesi Dosen Muda Unhas, saya bersama rekan sejawat Ab. Takko diperintahkan jurusan mengawal sekitar 30-an mahasiswa IMSI mengikuti tur Jawa-Sumatera. Kurang lebih 3 minggu termasuk perjalanan rombongan kami mengitari Jawa, khususnya Jakarta, dan Sumatera, khususnya Kota Padang. KM Kerinci mengantar kami ke Jawa dan Sumatera. Kami berangkat dari Pelabuhan Makassar, selama 2 hari 2 malam tiba di Tanjung Priuk. Selanjutnya, dengan kapal yang sama selama 1 hari 1 malam, tibalah kami di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Rombongan yang kami bawa betapa gembira. Hampir semua rombongan, termasuk saya, inilah pengalaman pertama kali naik kapal Pelni. Naik kapal laut saja baru pertama kali, naik pesawat jangan lagi ditanya. Di Padang, rombongan dijemput sebuah mobil besar, bertuliskan UNIVERSITAS EKASAKTI. Kami diantar menuju sebuah rumah yang sangat luas halamannya. Tamannya sangat asri tertata indah. Rumah gadang ada corak Bugisnya itu masih saya catat dalam benak saya hingga kini. Rumah itu terletak di Jl. Pancasila No. 12 Padang. Menurut penjaga rumah waktu itu, baru saja rumah itu ditempati artis dan aktor film nasional. Film "Sengsara Membawa Nikmat" yang ditulis Tulis St. Sati yang notabene adalah mertua si pemilik rumah besar itu. Artis top yang menginap di rumah itu Desy Ratnasari dan Sandy Nayoan. Saya diberikan kunci kamar oleh penjaga rumah, sambil membisikkan di telinga saya, "Ini kuncinya Pak, kamar ini yang ditempati Desy Ratnasari selama sebulan sewaktu mengambilan gambar film tersebut." Setelah kami duduk sekitar setengah jam, penjaga rumah berkata, ini ada uang makan selama di Padang dititip oleh Puang. Puang titip pesan agar uang ini digunakan untuk kebutuhan rombongan selama di Padang. Kalau pun tidak cukup, dicatatkan saja, nanti sekembalinya dari luar negeri baru diselesaikan. Uang lembaran seratusan itu berjumlah Rp2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Uang yang dititip Puang tsb. jika dikonversi dengan nilai uang sekarang, ada sekitar Rp25.000.000. Dalam benak saya berkecamuk pertanyaan, siapakah gerangan Puang yang disebut-sebut penjaga rumah itu? Di perantauan ini, ternyata masih saja ada orang yang baik hati dan rela ditempati rumahnya secara gratis. Siapakah gerangan orang yang ikhlas memberikan uang sebanyak itu? Belakangan rombongan baru tahu, termasuk saya, bahwa orang dermawan yang ditempati rumahnya itu adalah seorang perantau Bugis asal Soppeng. Beliau memperistrikan putri Sastrawan Minang, Tulis Sutan Sati, penulis roman "Sengsara Membawa Nikmat". Beliau adalah pemilik Yayasan Ekasakti Padang. Yayasan tersebut membina sekolah mulai dari TK sampai universitas. Beliau adalah Prof. DR. H. Andi Mustati Pide, S.H., M.H. adalah keturunan bangsawan Bugis Soppeng yang hidup sukses di rantau Ranah Minang. Zaman berganti, musim bertukar, "utang" untuk menyampaikan terima kasih tak terasa terbelenggu 26 tahun. Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas kebaikannya hampir 3 dasawarsa lalu. Saya tidak pernah bertemu muka dengan almarhum. Padahal, sewaktu saya melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Padjadjaran Bandung, almarhum sementara pula mengambil Program Doktor Hukum. Saya banyak mendengar cerita dari senior-senior S3 bahwa ada seorang kandidat doktor sangat dermawan. Semua teman angkatannya tidak pernah membayar fotokopi karena almarhum yang bayarkan semuanya. Teringatlah kembali waktu saya berada Padang, beliau memang sangat dermawan. Sampai akhir hayatnya, saya tidak pernah bersapa dan "bayar utang" terima kasih 26 tahun silam. Kira-kira 3 bulan lalu, hampir saya bertemu muka. Pada waktu itu, beliau datang ke Makassar. Kebetulan beliau ada keluhan kesehatan. Klinik Inggit di BTP menjadi pilihannya dan ingin berkonsultasi Dokter Saraf, istri saya. Lama di klinik bercerita dan sempat bersenda gurau. Tak sedikit pun memperlihatkan ia orang hebat dan kaya raya, sangat rendah hati. Waktu beliau datang ke Klinik Inggit, sekitar pk. 09.30 pagi, saya masih di rumah. Istri saya ada terbetik di ingatannya, bahwa inilah orang yang pernah diceritakan. Saya tidak dipanggil turun ke klinik karena dikira saya sudah berangkat ke kampus. Malam harinya, istri saya bercerita bahwa siang tadi datang seorang tokoh nasional asal Soppeng yang berkiprah di Ranah Minang. Belum lepas cerita istri saya, langsung saya sela, Andi Mustari Pide, ya? Allah mungkin menghendaki saya tidak akan bertemu dan menyampaikan langsung ucapan terima kasih dari saya atas kebaikannya puluhan tahun lalu. Selamat jalan Prof. Andi Mustari, semoga segala amal kebaikanmu akan menjadi suluh penerang jalanmu menuju keharibaan Sang Pencipta. Jasamu takkan pernah terlupakan. Dermawan Berhati Kapas itu kini telah tiada, tapi pahatan ukiran namanya akan kokoh setegar "Menara Jam Gadang" di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. ------------------------------------------------------------ Makassar, 13 Agustus 2018, pk. 10.18 WITA 0 komentar | komentar